Kutukan Perempuan
Oleh : Rahmah Rasyidah
Hanya karena
aku seorang perempuan. Ya! Hanya karena kedok perempuan, aku harus menerima
semua kesialan ini. Penghinaan, penyiksaan bahkan semua penderitaan yang harus
aku tanggung sendiri. Semua berawal saat itu. Ketika takdir mulai bicara
tentang aku.
Gemericik rintik hujan jatuh di atas atap rumah yang entah masih layakkah di sebut rumah. Atap yang terbuat dari sirap itu berlubang hampir di setiap sudutnya. Mata telanjang saja mampu meraba setiap lubang yang menempel disana. Air hujan dengan leluasa masuk membasahi rumah dari segala arah. Miris. Sebuah gubuk reyot yang sudah mulai di makan usia. Seperti usia seorang wanita yang kini memasuki setengah abad, mengerang kesakitan melawan maut. Nampak bibirnya berdarah akibat gigitan terlalu keras untuk meredam sakitnya. Kalau para ksatria di medan pertempuran berperang dengan senjata mereka, ia berperang dengan rasa sakit, cinta dan harapan untuk dapat melihat bayi keduanya. Aku.
Gemericik rintik hujan jatuh di atas atap rumah yang entah masih layakkah di sebut rumah. Atap yang terbuat dari sirap itu berlubang hampir di setiap sudutnya. Mata telanjang saja mampu meraba setiap lubang yang menempel disana. Air hujan dengan leluasa masuk membasahi rumah dari segala arah. Miris. Sebuah gubuk reyot yang sudah mulai di makan usia. Seperti usia seorang wanita yang kini memasuki setengah abad, mengerang kesakitan melawan maut. Nampak bibirnya berdarah akibat gigitan terlalu keras untuk meredam sakitnya. Kalau para ksatria di medan pertempuran berperang dengan senjata mereka, ia berperang dengan rasa sakit, cinta dan harapan untuk dapat melihat bayi keduanya. Aku.
Matahari mulai
menampakkan diri dari ufuk timur. Menggeliat keluar dari peraduannya. Seakan
bertitah untuk membangunkan alam semesta yang untuk beberapa jam tak
beraktifitas. Tepat pada saat itu, aku berhasil keluar dari rahim seorang
wanita miskin yang bersedia meminjamkan jasadnya untuk ku berteduh selama kurang
lebih sembilan bulan.
Dengan sigap
mbah Sideh, dukun beranak yang masyhur di kampung menyambut tubuhku yang masih bersimbah
darah. Mbok Ida tetangga samping rumah yang kebetulan mendengar ibu akan
melahirkan mengurus tubuh tua ibu yang semakin melemah. Semuanya terjadi begitu
saja. Natural. Tanpa rekayasa. Darah, rintihan, tangis, seperti sudah menyatu
dalam tubuhku semenjak aku dilahirkan. Ayah yang seharusnya menjadi orang kedua
menggendongku setelah mbah Sideh hanya terpaku menatapku dari kejauhan. Tentu
saja bukan aku yang dia mau. Bukan seorang bayi yang hanya akan menjadi beban
untuknya. Ia tak beranjak dari tempat ia berdiri barang sesentipun. Dia hanya
menatapku tajam usai mendengar teriakan Mbah Sideh, “Bayinya perempuan!” Ya,
Perempuan sudah menjadi kutukan baginya. Tentu saja, sebelum kutukan itu
menimpaku, ia lebih dulu menimpa kakak perempuanku.
***
Cerita itu sudah
ku dengar berulang-ulang. Seperti dongeng yang selalu diceritakan para ibu
untuk anak-anak mereka menjelang tidur.
“Tugas perempuan itu hanya satu Nak, melayani
laki-laki. Bahkan di zaman dulu, bayi perempuan dikubur-kubur hidup tanpa
ampun. Bagi mereka, perempuan itu aib! Menyusahkan, Tidak berguna!” tutur Mbah
Sideh seperti biasa, tanpa ku minta.
Kemarahan
terlihat sangat jelas di matanya setiap kali ia bercerita hal yang sama. Gelas
teh yang ada di tangannya bergetar karena amarah yang ia tahan. Sedetik
kemudian, raut wajahnya berubah. Sendu matanya seakan menjelaskan bahwa ia
tidak bisa berbuat apa-apa. Puluhan kali ia membantu para wanita melahirkan
anak mereka, sebanyak itu pula ia harus menahan sakit ketika ia harus menyambut
bayi perempuan. Ia tahu nasib apa yang akan di hadapi oleh bayi yang ada di
tangannya. Dibuang. Dicampakkan.
Seperti aku
sekarang. Terpaksa harus mengekor kemanapun Mbah Sideh pergi. Membantunya
menimba air dari sumur yang letaknya ratusan meter dari rumah. Meniup tungku
api untuk menanak nasi atau mendengarkannya bercerita di sore hari. Saat
langit-langit mulai keemasan. Ia sudah duduk santai di teras rumah, memintaku
mengambil gelas, sendok, gula, termos air hangat dan serbuk teh. Tangannya
mulai sibuk memasukkan air hangat, teh, gula ke dalam gelas dan mengaduknya
pelan. Sejurus kemudian, dia sudah menikmati teh buatannya. Menurutku, Mbah
Sideh kecanduan teh. Hampir tiap hari ia tak pernah absen minum teh. Sudah
puluhan atau bahkan ratusan kotak kemasan teh yang ia beli di warung sebelah disusun
rapi di dinding kamarnya. Kamarnya saja tidak bisa dikatakan sebuah kamar lagi.
Tapi lebih cocok disebut warung teh. Aneh memang. Tapi mungkin itu salah satu
cara mengusir kesepian Mbah Sideh selama ini. Diumurnya yang sudah memasuki 70
tahun, ia belum pernah bersuami. Perawan tua, bahkan terlalu tua untuk
dikatakan perawan.
Pernah
kuberanikan bertanya perihal itu padanya.
“Mbah,
bolehkah aku bertanya sesuatu?”
“Tentu Nak,
tanyalah! Kau seperti baru mengenal Mbahmu ini saja!”
“Kenapa Mbah
belum menikah? apakah tidak ada satu lelakipun yang menyukai Mbah?” Tanyaku di suatu
sore. Seperti biasa, aku menemaninya menikmati senja dan teh manis buatannya.
Nafasku tertahan. Wajahku tertunduk menunggu jawaban darinya. Takut ia akan
melempar gelas tehnya, atau memakiku habis-habisan.
Tapi ternyata
ia hanya tersenyum manis, “Aku takut melahirkan bayi perempuan dan kelak hanya
akan dibuang oleh suamiku, Nak. Tapi aku bersyukur, Tuhan mengirimmu untuk
mengubur rasa takutku.” Jawabnya pelan.
Dadaku sesak,
bibirku bergetar menahan haru. Ingin ku peluk erat wanita tua yang kini
tersenyum di depanku, Tubuhku tak bergeming. Ia melanjutkan ceritanya seakan
aku tidak pernah menanyakan apa-apa. aku tahu ia menyembunyikan rasa sakitnya
menjadi perawan tua, tapi senyum tipisnya meyakinkanku bahwa ia tidak pernah
menyesali semuanya. Senyuman itu juga yang membuatku selalu bersyukur hidup
seatap dengannya selama 17 tahun ini.
***
Namanya
Sunarman. Lelaki yang masih kelihatan perkasa meski umurnya hampir memasuki 55
tahun. Berperawakan tinggi dan besar. Garis wajahnya keras dan tidak banyak
bicara. Kesehariannya dia habiskan sebagai petani di ladang milik orang kaya di
kampungnya. Takdir tuhan menetapkan dia untuk hidup di sebuah perkampungan yang
memiliki kebiasaan aneh.
Sebuah
perkampungan yang sangat jauh dari perkotaan. Bisa dibilang hiruk pikuk perkotaan
tidak akan bisa diendus dari sana. Damai, tentram dan nyaman. Kecuali satu
tradisi buruk warga kampung di sana yang entah dimulai kapan dan oleh siapa. Bagi
warga kampung itu, perempuan tidak lebih hanya sebagai pelayan dan pemuas nafsu
birahi para lelaki. Dilahirkan, tumbuh besar, menikah, melayani, melahirkan dan
mati. Sederhana. Tapi seperti kutukan yang mengikat semua perempuan yang hidup
di sana. Alam pun tidak mengijinkan perempuan melakukan hal lain selain apa yang
menjadi tugas mereka. Banyak di antara mereka yang menolak dinikahi para
lelaki. Bahkan lebih memilih bunuh diri daripada harus meminjamkan rahim mereka
untuk dipaksa melahirkan laki-laki, laki-laki dan hanya laki-laki saja.
Ketika yang keluar adalah bayi perempuan, maka
para suami mereka akan menitipkan bayi mereka kepada para janda atau perawan
tua yang hidup sendiri karena menolak untuk menikah. Begitupula yang terjadi
pada Pak Sunarman. Ia seperti mendapat keajaiban dari Tuhan. Istrinya hamil
untuk kedua kalinya dalam umur yang sudah tidak muda lagi. Ketar-ketir ia
menunggu masa-masa kehamilan istrinya. Ia pun lebih banyak menghabiskan
waktunya di ladang daripada di rumah. Besar harapan ia ingin mendapat bayi
laki-laki. Bukan perempuan seperti anak pertamanya.
Malam itu, Pak
Sunarman berlari kencang menuju sebuah gubuk tua yang hampir roboh. Ia mengetuk
pintu dengan keras. hampir saja gubuk itu roboh. Semenit kemudian seorang
wanita tua keluar menuju pintu sambil membenahi penutup kepala. Orang-orang
biasa memanggilnya Mbah Sideh. Seorang dukun beranak terkenal di kampung itu.
“Marti, Mbah!”
ucap Pak Sunarman singkat. Mbah Sideh hanya mengangguk. Tanpa kata, mereka
bergegas menuju rumah Pak Sunarman. Malam itu senyap. Rembulan mengintip malu
di balik awan. Seperti enggan tapi penasaran ingin menyaksikan takdir apa yang
Tuhan berikan kepada Pak Sunarman.
***
Pak Sunarman
merogoh korek api di saku celananya. Menghidupkan sebatang rokok dan
menghisapnya dalam. Pagi itu sangat cerah. Aktifitas warga kembali hidup
setelah sejenak mati suri. Pak Sunarman memandang hilir mudik warga di teras
gubuk reyotnya. Ada yang akan pergi ke pasar, ke ladang, juga segerombolan kuli
bangunan yang akan bekerja di kampung sebelah. Sesekali ia mendapat sapaan dari
teman-temannya bekerja di ladang, ia hanya menjawab dengan mengangkat alis
kanan. Wajahnya datar, tatapannya tajam dan dalam. Lima menit yang lalu,
penantian melihat bayi keduanya berakhir. Ia mematung dihadapan pintu mendengar
tangisan bayinya. Laki-laki kah? Atau perempuan? Batinnya.
“Bayinya
perempuan!” teriak Mbah Sideh dari dalam. Pak Sunarman terduduk lemas. Waktu
lima menit terasa lama baginya mencoba menerima kenyataan. Kecewa. Pak Sunarman
sangat kecewa sampai ia enggan menatap bayinya.
“Ini bayi kau
Man! Tidakkah kau ingin melihatnya?” ucap Mbah Sideh menahan isak. Bayi yang
berada dalam dekapannya terasa berat. Ia berdiri di ambang pintu. Menatap
Sunarman duduk menikmati rokok dan membelakanginya.
“Aku tidak
menginginkannya Mbah” jawabnya singkat. Ia membuang puntung rokok kebawah dan
menginjaknnya kasar.
“Kau tidak
kasihan dengan Marti, istri kau? Sampai mati ia berjuang untuk memberi kau bayi
ini!” sanggah Mbah Sideh. Tak tahan ia mendengar tangis bayi tak berdosa yang
kini ada di tangannya.
“Bawa saja
bayi itu Mbah. Aku akan mengurus pemakaman Marti”. Ucap Sunarman acuh. Ia
berlalu pergi tanpa menoleh kebelakang.
Marti, kasihan
kau. Batin Mbah Sideh. Marti menghembuskan nafas terakhirnya karena kehabisan
darah. Air matanya jatuh.
***
Aku mematung
menatap dua pusara yang kini berada di depanku. Satu pusara atas nama Mbah
Sideh dan satu lagi atas nama Marti. Setahun setelah aku menanyakan perihal
alasan Mbah Sideh tidak menikah, Mbah Sideh mengajakku mengunjungi ‘seseorang’.
Katanya ia adalah pahlawanku. Wanita paling berjasa yang tak boleh aku lupakan.
Ia menjual nyawanya kepada Tuhan agar aku bisa melihat dunia. Kesinilah Mbah
Sideh menarikku. Kehadapan pusara bernama Marti. Setahun kemudian, aku harus menanam Mbah Sideh
di samping pusaranya.
“Lihatlah
tanah kosong disebelah pusara ibumu itu Nak!” ucap Mbah Sideh menunjuk sepetak
tanah kosong didepanku. Aku hanya menatap heran. Masih belum menangkap arah
pembicaraan Mbah Sideh.
“Tanah itu
sengaja aku beli untukku. Jika Tuhan memanggilku, tanam aku disana. Tepat di samping
ibumu. Agar kau tidak susah ketika ingin mendoakan kami” lanjutnya lagi. Wasiat
Mbah Sideh setahun sebelum ia meninggal.
Sesak aku
mengingatnya. Sepuluh tahun yang lalu aku mengubur jasad Mbah Sideh di sini.
Jasad yang tak berhenti tersenyum meski tidak bernafas lagi. Jasad ibu
sekaligus ayahku. Setiap kali membayangkan wajah orang tua asliku, yang
tergambar hanya wajah Mbah Sideh. Entah seperti apa wajah Marti, ibuku. Mirip
akukah? Atau aku lebih mirip Ayah?. Seorang ayah yang aku tak tahu di mana
rimbanya. Mbah Sideh tak pernah mau mengenalkanku pada sosoknya. Mungkin saja
aku pernah bertemu dengannya. Di jalan, di pasar, atau mungkin di ladang. Mungkin
juga dia sudah lama mati, menyatu dengan alam seperti Mbah Sideh sekarang.
Entahlah. Aku menabur bunga terakhir di keranjangku keatas dua pusara di hadapanku.
Hari semakin
gelap. Tiga jam lamanya aku berdiri di kawasan pemakaman umum. Gontai kakiku
melangkah pulang. Ku perhatikan satu persatu kuburan yang aku lewati. Hampir
semua kuburan perempuan. Mana kuburan laki-lakinya? batinku. Ku
perhatikan kembali plang kuburan yang ada di gerbang, ‘Pemakaman Umum’. Ah, apa
aku salah baca? Mungkin saja tulisannya ‘Pemakaman Perempuan’. Tidak! Ini memang pemakaman umum. Aku terkekeh.
Tersadar akan keunikan dinamika kehidupan ini. Tuhan memang kejam
pada kami, perempuan. Tapi Tuhan Maha Adil. Sebenarnya kutukan Tuhan juga
menimpa para lelaki. Mereka dikutuk hidup tersiksa di dalam jasad yang semakin
menua. Sedang mereka hampir tak pernah mendapat keturunan laki-laki. Seratus
berbanding satu dengan kelahiran perempuan. Semakin mereka menginginkan
kelahiran laki-laki, semakin perempuan menjamur di sekeliling mereka. Mungkin
ini yang menjadi alasan para lelaki di kampung ini muak melihat kelahiran
perempuan. Yah, mungkin saja! Batinku lagi.
/* RRI Bilik Sastra 13 April 2014
Voice of Indonesia VOI
Siaran Luar Negeri RRI
/* RRI Bilik Sastra 13 April 2014
Voice of Indonesia VOI
Siaran Luar Negeri RRI
0 komentar:
Posting Komentar