Home » » Kutukan Perempuan

Kutukan Perempuan

Written By Unknown on Kamis, 17 April 2014 | 01.13.00

Kutukan Perempuan 

Hanya karena aku seorang perempuan. Ya! Hanya karena kedok perempuan, aku harus menerima semua kesialan ini. Penghinaan, penyiksaan bahkan semua penderitaan yang harus aku tanggung sendiri. Semua berawal saat itu. Ketika takdir mulai bicara tentang aku. 
Gemericik rintik hujan jatuh di atas atap rumah yang entah masih layakkah di sebut rumah. Atap yang terbuat dari sirap itu berlubang hampir di setiap sudutnya. Mata telanjang saja mampu meraba setiap lubang yang menempel disana. Air hujan dengan leluasa masuk membasahi rumah dari segala arah. Miris. Sebuah gubuk reyot yang sudah mulai di makan usia. Seperti usia seorang wanita yang kini memasuki setengah abad, mengerang kesakitan melawan maut. Nampak bibirnya berdarah akibat gigitan terlalu keras untuk meredam sakitnya. Kalau para ksatria di medan pertempuran berperang dengan senjata mereka, ia berperang dengan rasa sakit, cinta dan harapan untuk dapat melihat bayi keduanya. Aku.
Matahari mulai menampakkan diri dari ufuk timur. Menggeliat keluar dari peraduannya. Seakan bertitah untuk membangunkan alam semesta yang untuk beberapa jam tak beraktifitas. Tepat pada saat itu, aku berhasil keluar dari rahim seorang wanita miskin yang bersedia meminjamkan jasadnya untuk ku berteduh selama kurang lebih sembilan bulan.
Dengan sigap mbah Sideh, dukun beranak yang masyhur di kampung menyambut tubuhku yang masih bersimbah darah. Mbok Ida tetangga samping rumah yang kebetulan mendengar ibu akan melahirkan mengurus tubuh tua ibu yang semakin melemah. Semuanya terjadi begitu saja. Natural. Tanpa rekayasa. Darah, rintihan, tangis, seperti sudah menyatu dalam tubuhku semenjak aku dilahirkan. Ayah yang seharusnya menjadi orang kedua menggendongku setelah mbah Sideh hanya terpaku menatapku dari kejauhan. Tentu saja bukan aku yang dia mau. Bukan seorang bayi yang hanya akan menjadi beban untuknya. Ia tak beranjak dari tempat ia berdiri barang sesentipun. Dia hanya menatapku tajam usai mendengar teriakan Mbah Sideh, “Bayinya perempuan!” Ya, Perempuan sudah menjadi kutukan baginya. Tentu saja, sebelum kutukan itu menimpaku, ia lebih dulu menimpa kakak perempuanku.


***
Cerita itu sudah ku dengar berulang-ulang. Seperti dongeng yang selalu diceritakan para ibu untuk anak-anak mereka menjelang tidur.
 “Tugas perempuan itu hanya satu Nak, melayani laki-laki. Bahkan di zaman dulu, bayi perempuan dikubur-kubur hidup tanpa ampun. Bagi mereka, perempuan itu aib! Menyusahkan, Tidak berguna!” tutur Mbah Sideh seperti biasa, tanpa ku minta.
Kemarahan terlihat sangat jelas di matanya setiap kali ia bercerita hal yang sama. Gelas teh yang ada di tangannya bergetar karena amarah yang ia tahan. Sedetik kemudian, raut wajahnya berubah. Sendu matanya seakan menjelaskan bahwa ia tidak bisa berbuat apa-apa. Puluhan kali ia membantu para wanita melahirkan anak mereka, sebanyak itu pula ia harus menahan sakit ketika ia harus menyambut bayi perempuan. Ia tahu nasib apa yang akan di hadapi oleh bayi yang ada di tangannya. Dibuang. Dicampakkan.
Seperti aku sekarang. Terpaksa harus mengekor kemanapun Mbah Sideh pergi. Membantunya menimba air dari sumur yang letaknya ratusan meter dari rumah. Meniup tungku api untuk menanak nasi atau mendengarkannya bercerita di sore hari. Saat langit-langit mulai keemasan. Ia sudah duduk santai di teras rumah, memintaku mengambil gelas, sendok, gula, termos air hangat dan serbuk teh. Tangannya mulai sibuk memasukkan air hangat, teh, gula ke dalam gelas dan mengaduknya pelan. Sejurus kemudian, dia sudah menikmati teh buatannya. Menurutku, Mbah Sideh kecanduan teh. Hampir tiap hari ia tak pernah absen minum teh. Sudah puluhan atau bahkan ratusan kotak kemasan teh yang ia beli di warung sebelah disusun rapi di dinding kamarnya. Kamarnya saja tidak bisa dikatakan sebuah kamar lagi. Tapi lebih cocok disebut warung teh. Aneh memang. Tapi mungkin itu salah satu cara mengusir kesepian Mbah Sideh selama ini. Diumurnya yang sudah memasuki 70 tahun, ia belum pernah bersuami. Perawan tua, bahkan terlalu tua untuk dikatakan perawan.
Pernah kuberanikan bertanya perihal itu padanya.
“Mbah, bolehkah aku bertanya sesuatu?”
“Tentu Nak, tanyalah! Kau seperti baru mengenal Mbahmu ini saja!”
“Kenapa Mbah belum menikah? apakah tidak ada satu lelakipun yang menyukai Mbah?” Tanyaku di suatu sore. Seperti biasa, aku menemaninya menikmati senja dan teh manis buatannya. Nafasku tertahan. Wajahku tertunduk menunggu jawaban darinya. Takut ia akan melempar gelas tehnya, atau memakiku habis-habisan.
Tapi ternyata ia hanya tersenyum manis, “Aku takut melahirkan bayi perempuan dan kelak hanya akan dibuang oleh suamiku, Nak. Tapi aku bersyukur, Tuhan mengirimmu untuk mengubur rasa takutku.” Jawabnya pelan.
Dadaku sesak, bibirku bergetar menahan haru. Ingin ku peluk erat wanita tua yang kini tersenyum di depanku, Tubuhku tak bergeming. Ia melanjutkan ceritanya seakan aku tidak pernah menanyakan apa-apa. aku tahu ia menyembunyikan rasa sakitnya menjadi perawan tua, tapi senyum tipisnya meyakinkanku bahwa ia tidak pernah menyesali semuanya. Senyuman itu juga yang membuatku selalu bersyukur hidup seatap dengannya selama 17 tahun ini.
***
Namanya Sunarman. Lelaki yang masih kelihatan perkasa meski umurnya hampir memasuki 55 tahun. Berperawakan tinggi dan besar. Garis wajahnya keras dan tidak banyak bicara. Kesehariannya dia habiskan sebagai petani di ladang milik orang kaya di kampungnya. Takdir tuhan menetapkan dia untuk hidup di sebuah perkampungan yang memiliki kebiasaan aneh.
Sebuah perkampungan yang sangat jauh dari perkotaan. Bisa dibilang hiruk pikuk perkotaan tidak akan bisa diendus dari sana. Damai, tentram dan nyaman. Kecuali satu tradisi buruk warga kampung di sana yang entah dimulai kapan dan oleh siapa. Bagi warga kampung itu, perempuan tidak lebih hanya sebagai pelayan dan pemuas nafsu birahi para lelaki. Dilahirkan, tumbuh besar, menikah, melayani, melahirkan dan mati. Sederhana. Tapi seperti kutukan yang mengikat semua perempuan yang hidup di sana. Alam pun tidak mengijinkan perempuan melakukan hal lain selain apa yang menjadi tugas mereka. Banyak di antara mereka yang menolak dinikahi para lelaki. Bahkan lebih memilih bunuh diri daripada harus meminjamkan rahim mereka untuk dipaksa melahirkan laki-laki, laki-laki dan hanya laki-laki saja.
 Ketika yang keluar adalah bayi perempuan, maka para suami mereka akan menitipkan bayi mereka kepada para janda atau perawan tua yang hidup sendiri karena menolak untuk menikah. Begitupula yang terjadi pada Pak Sunarman. Ia seperti mendapat keajaiban dari Tuhan. Istrinya hamil untuk kedua kalinya dalam umur yang sudah tidak muda lagi. Ketar-ketir ia menunggu masa-masa kehamilan istrinya. Ia pun lebih banyak menghabiskan waktunya di ladang daripada di rumah. Besar harapan ia ingin mendapat bayi laki-laki. Bukan perempuan seperti anak pertamanya.
Malam itu, Pak Sunarman berlari kencang menuju sebuah gubuk tua yang hampir roboh. Ia mengetuk pintu dengan keras. hampir saja gubuk itu roboh. Semenit kemudian seorang wanita tua keluar menuju pintu sambil membenahi penutup kepala. Orang-orang biasa memanggilnya Mbah Sideh. Seorang dukun beranak terkenal di kampung itu.
“Marti, Mbah!” ucap Pak Sunarman singkat. Mbah Sideh hanya mengangguk. Tanpa kata, mereka bergegas menuju rumah Pak Sunarman. Malam itu senyap. Rembulan mengintip malu di balik awan. Seperti enggan tapi penasaran ingin menyaksikan takdir apa yang Tuhan berikan kepada Pak Sunarman.
***
Pak Sunarman merogoh korek api di saku celananya. Menghidupkan sebatang rokok dan menghisapnya dalam. Pagi itu sangat cerah. Aktifitas warga kembali hidup setelah sejenak mati suri. Pak Sunarman memandang hilir mudik warga di teras gubuk reyotnya. Ada yang akan pergi ke pasar, ke ladang, juga segerombolan kuli bangunan yang akan bekerja di kampung sebelah. Sesekali ia mendapat sapaan dari teman-temannya bekerja di ladang, ia hanya menjawab dengan mengangkat alis kanan. Wajahnya datar, tatapannya tajam dan dalam. Lima menit yang lalu, penantian melihat bayi keduanya berakhir. Ia mematung dihadapan pintu mendengar tangisan bayinya. Laki-laki kah? Atau perempuan? Batinnya.
“Bayinya perempuan!” teriak Mbah Sideh dari dalam. Pak Sunarman terduduk lemas. Waktu lima menit terasa lama baginya mencoba menerima kenyataan. Kecewa. Pak Sunarman sangat kecewa sampai ia enggan menatap bayinya.
“Ini bayi kau Man! Tidakkah kau ingin melihatnya?” ucap Mbah Sideh menahan isak. Bayi yang berada dalam dekapannya terasa berat. Ia berdiri di ambang pintu. Menatap Sunarman duduk menikmati rokok dan membelakanginya.
“Aku tidak menginginkannya Mbah” jawabnya singkat. Ia membuang puntung rokok kebawah dan menginjaknnya kasar.
“Kau tidak kasihan dengan Marti, istri kau? Sampai mati ia berjuang untuk memberi kau bayi ini!” sanggah Mbah Sideh. Tak tahan ia mendengar tangis bayi tak berdosa yang kini ada di tangannya.
“Bawa saja bayi itu Mbah. Aku akan mengurus pemakaman Marti”. Ucap Sunarman acuh. Ia berlalu pergi tanpa menoleh kebelakang.
Marti, kasihan kau. Batin Mbah Sideh. Marti menghembuskan nafas terakhirnya karena kehabisan darah. Air matanya jatuh.
***
Aku mematung menatap dua pusara yang kini berada di depanku. Satu pusara atas nama Mbah Sideh dan satu lagi atas nama Marti. Setahun setelah aku menanyakan perihal alasan Mbah Sideh tidak menikah, Mbah Sideh mengajakku mengunjungi ‘seseorang’. Katanya ia adalah pahlawanku. Wanita paling berjasa yang tak boleh aku lupakan. Ia menjual nyawanya kepada Tuhan agar aku bisa melihat dunia. Kesinilah Mbah Sideh menarikku. Kehadapan pusara bernama Marti.  Setahun kemudian, aku harus menanam Mbah Sideh di samping pusaranya.
“Lihatlah tanah kosong disebelah pusara ibumu itu Nak!” ucap Mbah Sideh menunjuk sepetak tanah kosong didepanku. Aku hanya menatap heran. Masih belum menangkap arah pembicaraan Mbah Sideh.
“Tanah itu sengaja aku beli untukku. Jika Tuhan memanggilku, tanam aku disana. Tepat di samping ibumu. Agar kau tidak susah ketika ingin mendoakan kami” lanjutnya lagi. Wasiat Mbah Sideh setahun sebelum ia meninggal.
Sesak aku mengingatnya. Sepuluh tahun yang lalu aku mengubur jasad Mbah Sideh di sini. Jasad yang tak berhenti tersenyum meski tidak bernafas lagi. Jasad ibu sekaligus ayahku. Setiap kali membayangkan wajah orang tua asliku, yang tergambar hanya wajah Mbah Sideh. Entah seperti apa wajah Marti, ibuku. Mirip akukah? Atau aku lebih mirip Ayah?. Seorang ayah yang aku tak tahu di mana rimbanya. Mbah Sideh tak pernah mau mengenalkanku pada sosoknya. Mungkin saja aku pernah bertemu dengannya. Di jalan, di pasar, atau mungkin di ladang. Mungkin juga dia sudah lama mati, menyatu dengan alam seperti Mbah Sideh sekarang. Entahlah. Aku menabur bunga terakhir di keranjangku keatas dua pusara di hadapanku.
Hari semakin gelap. Tiga jam lamanya aku berdiri di kawasan pemakaman umum. Gontai kakiku melangkah pulang. Ku perhatikan satu persatu kuburan yang aku lewati. Hampir semua kuburan perempuan. Mana kuburan laki-lakinya? batinku. Ku perhatikan kembali plang kuburan yang ada di gerbang, ‘Pemakaman Umum’. Ah, apa aku salah baca? Mungkin saja tulisannya ‘Pemakaman Perempuan’.  Tidak! Ini memang pemakaman umum. Aku terkekeh. Tersadar akan keunikan dinamika kehidupan ini. Tuhan memang kejam pada kami, perempuan. Tapi Tuhan Maha Adil. Sebenarnya kutukan Tuhan juga menimpa para lelaki. Mereka dikutuk hidup tersiksa di dalam jasad yang semakin menua. Sedang mereka hampir tak pernah mendapat keturunan laki-laki. Seratus berbanding satu dengan kelahiran perempuan. Semakin mereka menginginkan kelahiran laki-laki, semakin perempuan menjamur di sekeliling mereka. Mungkin ini yang menjadi alasan para lelaki di kampung ini muak melihat kelahiran perempuan. Yah, mungkin saja! Batinku lagi.




/* RRI Bilik Sastra 13 April 2014
    Voice of Indonesia  VOI
    Siaran Luar Negeri RRI

0 komentar:

Posting Komentar